Oleh: Cahyadi Takariawan

Ketika kita menyaksikan fenomena kawin cerai dalam kehidupan masyarakat, muncullah pertanyaan, sebenarnya apa yang menjadi motivasi mereka untuk melakukan pernikahan, dan apa pula yang menjadi motivasi mereka untuk melakukan perceraian? Sangat mudah kita jumpai peristiwa perceraian, yang disebabkan oleh karena kebosanan, atau ketidakcocokan, atau alasan selera lainnya. Yang patut dipertanyakan adalah, bagaimana mereka memahami pernikahan dan kehidupan berumah tangga selama ini?
Landasan Itu Harus Kokoh
Keluarga bahagia, merupakan dambaan semua manusia. Namun ternyata sangat banyak yang tidak mau menempuh konsekuensinya. Mereka hanya ingin menikmati hasil akhir berupa kebahagiaan, padahal rasa bahagia justru muncul karena proses yang diikuti dengan konsisten.
Keluarga bahagia bukanlah keluarga yang berdiri di atas ruang hampa. Justru ia menempatkan pondasi sebagai tempat berpijak yang kokoh, karena hendak membangun sebuah peradaban yang kokoh pula. Tidak ada bangunan kokoh, jika pondasinya lemah. Semua bangunan tinggi menjulang ke langit, harus disertai pondasi yang kuat menghujam bumi.
Jika landasan berkeluarga hanya semata-mata materi, betapa mudah materi itu hilang dan musnah. Hari ini kaya raya, besok bisa menjadi orang miskin yang menderita. Hari ini memiliki banyak uang untuk membahagiakan pasangan, besok bisa merana karena tidak punya uang. Materi tidak bisa mengekalkan kebahagiaan, walaupun materi merupakan unsur penyusun kebahagiaan.
Jika landasan pernikahan hanyalah kecenderungan syahwat, maka betapa mudahnya syahwat itu menghancurkan kehidupan keluarga. Hari ini tertarik dengan seorang perempuan cantik lalu dinikahi, besok sudah bosan dan mencari wanita lain yang lebih cantik. Hari ini bertemu lelaki tampan lalu menikah, besok sudah bertemu lelaki lain yang lebih tampan. Syahwat mengajak manusia berkelana, dan tidak pernah bisa dipuaskan oleh berapapun banyak wanita atau lelaki yang disimpannya.
Jika landasan pernikahan hanyalah gengsi atau popularitas, betapa mudah tergoyahkan.Hari ini menikah dengan bangsawan yang terhormat, besok bisa kecewa karena ada posisi lain yang dianggap lebih tinggi. Hari ini menikah dengan artis yang tengah naik daun, besok sudah menyesal karena ada politisi yang lebih ngetop. Begitulah jika menikah hanya didasarkan kepada menjaga gengsi, maka akan selalu muncul pembanding yeng lebih tinggi.
Keluarga bahagia diawali pembentukannya dengan pernikahan yang didasarkan motivasi ibadah. Lelaki dan perempuan bertemu dalam ikatan sakral, berjanji atas nama Tuhan, diresmikan dalam lembar dokumen pemerintahan, dan disaksikan oleh keluarga serta masyarakat. Mereka bertemu dalam ritual pernikahan karena kepahaman dan kesadaran yang utuh, bahwa menikah merupakan ibadah untuk memenuhi amanah Ketuhanan dan risalah Kenabian.
Keluarga bahagia memahami sepenuhnya bahwa kebahagiaan itu datangnya dari dalam jiwa yang bersih, dari hati yang selalu bersyukur, dari pikiran yang selalu positif, sehingga segala sesuatu tampak jernih, bening, dan jelas. Mudah menguraikan permasalahan yang datang, karena tidak mengedepankan ego dan emosi. Semua anggota keluarga memiliki keinginan untuk merealisasikan kebaikan dalam kehidupan, karena meyakini adanya pembalasan Tuhan.
Keluarga bahagia menjadikan motivasi ibadah sebagai pondasi dalam meniti hari-hari bersama semua anggota keluarga. Menjadikan tuntunan Tuhan sebagai pembimbing jalan kehidupan. Menjadikan Tuhan sebagai harapan untuk memberikan kekuatan, kebahagiaan, ketenangan, kesejahteraan, ketenteraman, kemuliaan dan keutamaan dalam hidup berkeluarga.
Itulah sebabnya, keluarga selalu merasakan kebahagiaan, karena dilandasi oleh syukur. Mereka merasakan ketenangan dalam kehidupan keluarga, karena dilandasi hati yang bersih. Mereka mendapatkan keindahan, karena selalu berpikir positif. Mereka merasa kuat, karena bersandar kepada Dzat Yang Maha Kuat.
Jangan Bermain-main dengan Tuhan
Pernikahan adalah janji atau akad yang terikrarkan atas nama Tuhan, dituntunkan oleh agama dan dikuatkan oleh lembar dokumen pemerintahan, disaksikan oleh keluarga dan masyarakat. Pada peristiwa nikah, ada banyak ikatan sakral yang terjadi.
Pertama, ikatan sakral atas nama Tuhan. Jangan pernah bermain-main dengan nama Tuhan. Saat ikrar pernikahan, sebuah ikatan yang kuat (mitsaqan galizha) telah terjadi, maka jangan mencoba mengurai kembali ikatan ini. Hanya karena persoalan sepele, hanya karena urusan kecil, hanya karena permasalahan teknis, seseorang mencederai ikatan yang telah dibuat atas nama Tuhan.
Kedua, pernikahan dituntunkan oleh agama. Pernyataan “sah” saat akad nikah, dinilai dari kesesuaiannya dengan tuntunan agama. Maka jangan bermain-main dengan tuntunan agama. Hanya karena masalah komunikasi, hanya karena masalah ekonomi, tiba-tiba merusak ikatan yang menjadi tuntunan agama. Ini artinya menyepelekan agama.
Ketiga, dicatat dalam lembar pemerintahan. Pernikahan diatur oleh negara, dan melibatkan pejabat pemerintahan dalam pelaksanaannya. Maka jangan mempermainkan aturan negara dan pejabat pemerintahan. Pernikahan harus dijaga dan dipertahankan, tidak boleh sembarangan dirusak dan dihancurkan.
Keempat, disaksikan oleh keluarga besar dan masyarakat. Jangan kecewakan harapan mereka dengan ketidakharmonisan dan perceraian. Lengkap sudah nilai kesakralan sebuah pernikahan. Jangan bermain-main dengan pernikahan, karena jika menganggap remeh ikatan nikah, berarti mempermainkan Tuhan, tuntunan agama, pemerintah, keluarga besar dan masyarakat.
Sumber :
http://m.kompasiana.com/post/sosbud/2012/03/03/pernikahan-itu-bukan-permainan/