Menikah Itu Bukan Seperti Memakai Sepatu

|

Oleh: Cahyadi Takariawan

Pernikahan adalah amanat Ilahi agar manusia hidup dalam keseimbangan dan mendapatkan kebahagiaan, ketenteraman, ketenangan lahir maupun batin. Pernikahan merupakan amanat Tuhan agar manusia berkembang biak dengan cara yang halal, sehingga terbentuk generasi baru kemanusiaan yang lebih baik dan lebih berkualitas, untuk meneruskan pengelolaan alam semesta.
Tetapi mengapa banyak dijumpai banyaknya fenomena perceraian, atau pernikahan yang ditelantarkan, atau kekerasan dalam rumah tangga, atau pengkhianatan dalam keluarga? Bukankah pernikahan itu janji atas nama Tuhan, mengapa mudah dikhianati? Mengapa muncul gejala kawin cerai, baru sebentar pernikahannya langsung bercerai. Lalu menikah lagi dan bercerai lagi. Mengapa pernikahan dianggap seperti permainan ?

Bukan Seperti Memakai Sepatu

Sepertinya, pada banyak kalangan pernikahan hanya disamakan dengan membeli dan memakai sepatu. Ada orang yang tidak suka sepatu, maka ia lebih memilih berjalan tanpa alas kaki. Ada orang tidak suka sepatu, maka ia memakai sandal. Sebagian lainnya memilih memakai sepatu dengan gaya dan corak yang sangat beragam.
Ketika seseorang hobi koleksi sepatu, maka ia akan memiliki banyak simpanan dan banyak jenis sepatu. Ia memakai sepatu sesuai situasi dan kondisi. Untuk acara formal, ada sepatu tersendiri yang dikenakan. Untuk oleh raga, sepatunya berbeda lagi. Untuk acara santai, sepatunya pun khusus. Untuk rekreasi, ada sepatu yang tepat untuk itu.

Ketika bosan dengan satu jenis sepatu, ia akan membuang sepatu itu dengan alasan “sudah kuno”. Atau ia akan mengganti dengan yang lebih baru karena alasan “lebih up to date”. Ketika ia sudah tidak suka dengan sepatu, dengan cepat membuang dan mencari penggantinya karena alasan “sudah tidak ada kecocokan”. Maka sepatupun datang pergi silih berganti. Hari ini membeli sepatu dengan harga mahal, namun hanya bertahan sebulan, setelah itu dibuang untuk membeli sepatu baru dengan alasan “mendapatkan yang lebih cocok”.

Ketika pernikahan dan keluarga dipahami seperti membeli sepatu, maka kejadiannya tidak jauh berbeda. Hari ini menggelar pesta pernikahan yang mahal, namun hanya bertahan beberapa bulan setelah itu bercerai dan mencari pasangan lain lagi. Sebagian orang hobi mengoleksi wanita atau lelaki “simpanan”, karena akan digunakan sesuai kebutuhan. Sebagian orang bercerai dengan alasan “sudah tidak ada kecocokan”, atau karena “mencari yang lebih cocok”.

Beberapa kalangan memilih tidak menikah dengan alasan “tidak suka menikah”, dan lebih suka hidup menyendiri. Ada pula yang memilih tidak menikah dengan alasan agar memiliki kebebasan dalam berganti-ganti pasangan sesuai selera dan kesenangan. Benar-benar pernikahan hanya dianggap seperti membeli dan mengenakan sepatu. Kapan membeli sepatu, kapan memakai dan kapan membuang sepatu itu, adalah karena selera yang berubah.

Karena menganggap seperti memakai sepatu, maka pernikahan menjadi sesuatu yang sangat ringan dan sepele. Tidak memiliki kesakralan apapun, karena hanya menyalurkan hobi serta kesenangan. Sangat mudah memutuskan untuk berpisah, berganti pasangan, bertukar pasangan, membuang pasangan, meninggalkan pasangan, mengoleksi banyak kekasih, dan lain sebagainya. Karena nikah dianggap penyaluran hobi dan kesenangan semata.

Pernikahan dan Keluarga adalah Ibadah
Bagi masyarakat yang beriman, pernikahan dan keluarga adalah ibadah. Karena aktivitas ini adalah amanah Ilahi, diatur oleh agama dan negara, maka tidak bisa dianggap sekedar sebagai selera. Ketika seseorang memutuskan menikah, sepenuhnya ia menyadari tengah melaksanakan misi Ketuhanan, tengah menunaikan risalah kenabian, tengah menjalankan tugas kemanusiaan dan tengah merintis pembangunan peradaban.

Pernikahan adalah ibadah, karena melaksanakan tuntunan Ketuhanan. Tidak semata-mata pilihan selera, ingin menikah atau tidak. Bukan pilihan gaya hidup, ingin hidup terikat atau hidup bebas. Bukan peristiwa membeli sepatu, ingin yang model terbaru atau model klasik. Namun pernikahan merupakan ikatan yang diikrarkan atas nama Tuhan, dicatat dalam lembar dokumen pemerintahan, disaksikan oleh keluarga dan masyarakat. Pernikahan merupakan kegiatan sakral yang sekaligus menjadi peristiwa budaya, yang telah melekat dalam kehidupan masyarakat.

Dengan motivasi ibadah, maka pernikahan menjadi ikatan yang tidak boleh dianggap remeh dan kecil, karena terjadi atas nama Tuhan. Beribadah itu harus penuh kesungguhan, bukan sesuai selera sesaat. Inilah motivasi yang akan menyelamatkan keluarga dari penyimpangan dan kehancuran. Setiap kali ada masalah atau konflik, pertama kali harus dikembalikan kepada motivasi awal pernikahan. Bukankah pernikahan dan berkeluarga untuk ibadah, lalu mengapa harus dikalahkan oleh persoalan-persoalan kecil yang muncul dalam perjalanan kehidupan ?

Maka bertanggungjawablah dalam pernikahan. Jangan menyepelekan ikatan pernikahan yang sakral dan agung. Pernikahan akan menjadi langgeng apabila diletakkan dalam bingkai dan pondasi ibadah. Apabila semata-mata dianggap seperti memakai sepatu, maka menikah hanyalah asesoris hidup. Sekedar urusan hobi, suka atau tidak suka, selera atau tidak selera, cocok atau tidak cocok. Diukur dengan nafsu pribadi setiap orang. Inilah yang merusak pernikahan dan merusak kebaikan keluarga.

Sumber :
http://m.kompasiana.com/post/sosbud/2012/03/02/menikah-itu-bukan-seperti-memakai-sepatu/

 

©2009 risma jatibening satu | Design by risma jatibening satu