Jemari Andi tampak menari-nari di atas keyboard hitam komputernya. Matanya lurus menatap monitor. Bersamaan dengan tarian jarinya, muncul pula huruf-huruf di balik kaca monitor, satu per satu. Tulisannya sekarang sudah sekitar enam-tujuh halaman. Lumayan untuk dikirim ke media massa langganannya.
Andi Sulaiman Fahmi. Siapa yang tak kenal nama itu? Salah satu penulis yang sangat produktif saat ini. Tulisannya tersebar di berbagai media massa. Entah sudah berapa banyak judul tulisan hasil karangannya. Sulit untuk dihitung saking banyaknya.
Ia rentangkan kedua tangannya ke samping, sekadar menghilangkan pegal yang hinggap di badan. Sudah dua jam penuh ia duduk di depan komputer.
“Hoaaaeemm... akhirnya selesai juga,” ujarnya lirih menahan kantuk. Ia pandangi monitor komputer yang memampang tulisan terbarunya. Saat tiba-tiba...
“Tok... tok... tok...”
“Tok... tok... tok...”
Terdengar ketukan beberapa kali pada pintu rumah. Andi memasang pendengaran kedua telinganya. Tak ada suara memanggil, betul-betul hanya ketukan.
“Siapa sih, malam-malam begini bertamu ke rumah orang?” komentar Andi dalam hati.
Ia melirik jam di tangan kirinya. Ha! Pukul 00.15. Siapa ya, pikirnya. Dengan langkah agak gontai karena rasa kantuk yang belum sepenuhnya pudar, dia berjalan menuju pintu rumahnya.
“Tok... tok... tok... ”
“Iya, ya, sabar dong!”
Sebelum membuka pintu, Andi mengintip dari lubang kunci di pintu agar tahu siapa gerangan tamunya. Dia tidak melihat siapa pun di situ. Rasa penasaran pun segera menggerayangi dirinya.
“Tok... tok... tok...”
Rasa itu semakin membuncah. Pintu pun akhirnya dibuka. Lalu tertangkap oleh kornea matanya sesosok hitam di samping pintu. Tiba-tiba, tanpa sepatah kata pun, sosok itu langsung masuk ke rumah. Andi kaget bukan main dibuatnya, hingga ia hanya mematung malihat semua itu terjadi. Mulutnya membentuk bulatan kecil, melongo.
“He! Apa-apaan ini?” serunya kemudian dari belakang sambil mengekori tamu tadi. Melalui lorong-lorong rumahnya, sosok tersebut langsung menuju ruang tamu. Tahu dari mana ia letak ruang tamu, pikir Andi.
Orang misterius itu kemudian duduk di atas sofa.
“Siapa Anda?” kejar Andi sembari mendaratkan berat badannya di sofa satu lagi, di depan ‘sang tamu’.
“Masa tidak kenal aku, Pak? Aku sudah akrab sekali dengan rumah ini.” Dia malah balik bertanya.
Jawaban itu membuat alis mata ‘tuan rumah’ terangkat, heran. Segera dibuka kembali halaman-halaman memori dalam otaknya. Dia periksa satu per satu, tapi ia tak kunjung menemukan sosok tersebut di dalamnya.
“Bahkan....” dia berhenti beberapa detik, sengaja membiarkan kalimatnya menggantung. “Aku lahir di sini!”
Rasa heran dalam diri Andi memuncak.
“Namamu siapa? Perasaan aku tidak punya keluarga sepertimu.”
“Panggilanku Shofa, panjangnya Shof pun Makin merenggang. Kenal kan dengan nama itu?”
Andi segera ingat nama itu, salah satu judul dari sekian tulisannya. Pernah dimuat di salah satu majalah bulanan beberapa waktu yang lalu.
“Anda tulis dalam diriku bahwa shof-shof itu harus rapat, rapi dan tertib. Anda juga katakan bahwa shof-shof yang renggang akan diisi oleh setan., yang akan membuat salat kita tidak khusyuk. Lalu anda kutip ayat Al Qur’an juga hadist Nabi untuk menguatkan pendapat. Hasilnya... perfect!” dia mengacungkan kedua ibu jarinya, “Hingga salah satu media mau menerbitkan diriku.”
“Lalu apa maksudmu datang ke sini?”
Pelan tapi pasti, sorot matanya berubah tambah seram. Dari auranya sekarang, bisa dipastikan ia datang ke tempat ini dengan membawa sekelumit marah. Beberapa waktu suasana hening, tak ada suara yang keluar dari mulut keduanya. Hingga....
“Aku ke sini hendak menuntutmu!”
“Menuntutku, apa maksudmu?”
Senyum sinis mengembang di bibir Andi. Paling-paling hanya gertakan. Bukankah sebagai penulis, sudah sering ia menerima gertakan-gertakan seperti ini? Apalagi kalau sudah menulis masalah politik. Lha, ini kan cuma....
Mata sosok itu menerawang jauh ke depan.
“Sekarang semua orang telah melihat dan membaca pada diriku. Ada sebagaian dari mereka yang sadar dan segolongan yang lain tetap acuh tak acuh.”
Pak Andi mulai menyimak dengan serius. Sinisnya hilang seketika, entah kenapa. Serasa ada sebuah kekuatan yang telah membuat hatinya ciut. Sosok itu kemudian melanjutkan penjelasannya.
“Anda tahu, golongan pertama tadi dulunya sering menyanjungku bahkan memuji-muji diriku karena telah membuat mereka sadar. Tapi sekarang, mereka berubah. Mereka mennolok-olok diriku. Katanya aku tak tahu diri! Aku bingung apa maksudnya. Setelah kuselidiki sebab-musababnya, akhirnya aku tahu. Pantesan mereka berkata begitu, wong penulisku saja masih enggan mengisi shof kosong di depannya.”
Sejenak sosok itu menatap Andi.
“Karena itu, aku datang kemari untuk meminta pertanggungjawaban anda. Aku tak tahan mendengar olok-olok mereka.”
Andi tertunduk malu. Ingat akan perbuatannya beberapa hari lalu di Masjid Nurul Iman.
“Tok... tok... tok...”
Ketukan pintu terdengar kembali. Kali ini diiringi tangis yang memilukan.
“Masuk,” sambut Andi.
Andi sedikit kaget, tapi ia segera bisa mengatasinya. Bukan apa-apa, karena yang datang kali ini sosok hitam lagi.
“Aku malu, hik... hik...” suara tangisnya semakin terdengar jelas.
“Siapa kamu dan apa yang membuat kamu malu?” tanya Andi lembut.
Terbersit rasa kasihan melihatnya begitu. ‘Sang tamu’ belum bisa juga mengatasi diri, air matanya terus saja mengalir.
“Jangan menangis. Kalau begini terus, gimana saya bisa tahu masalah adik,” Andi memakai istilah adik untuk mencairkan suasana.
“Hiks... aku si Sedek. Nama asliku Sedekah Membawa Berkah.”
Andi mengernyitkan dahi.
“Masa Kakak lupa?” tangisnya terdengar pelan, “Aku adalah tulisan yang Kakak kirim ke majalah Bintang tiga bulan yang lalu, dan baru dimuat sebulan kemudian.”
Yang mendengarkan penjelasannya mengangguk-anggukkan kepala tanda ingat kembali, “Ya, ya. Aku ingat.”
“Kak, semua pembeli majalah Bintang telah membacaku. Kata mereka isiku bagus. Mereka bilang aku berbobot. Asal Kakak tahu, tidak sedikit dari mereka yang bersegera mengeluarkan zakat untuk mendapatkan keberkahan dalam harta mereka, sebagaimana yang Kakak maksud. Melihat itu, aku bangga sekali karena ternyata diriku bisa memberikan pencerahan bagi orang lain. Ta.. tapi, Kak, siang tadi mereka malah mengejekku, mencerca diriku. Hik... hik...” tangis itu pecah kembali.
Sekarang Andi tak bisa menyuruhnya berhenti menangis seperti tadi. Ia yakin ini berkaitan dengannya. Bahkan, semua ini gara-gara dirinya sendiri.
“Aku tanya mengapa mereka melakukan itu? Mereka menjawab ‘Hei, Sedek, penulismu itu agak kikir tahu!’ Malu sekali aku mendengar jawaban itu. Tak bisa kubayangkan merahnya wajahku waktu itu. Malu, Kak! Makanya, sekarang aku datang ke sini untuk mengadu.” Buliran air itu terus merayap di pipi, membuatnya semakin sesenggukan.
Sementara itu, ndi semakin menekuk dalam wajahnya. Mukanya merah padam, malu pada mereka berdua. Dia sekarang sadar bahwa tulisan yang ia karang selama ini masih banyak yang tidak sesuai dengan kelakuan dan sifatnya. Bayangan anak kecil yang diabaikannya di lampu merah beberapa hari lalu, berkelebat kembali dalam memorinya.
Keadaan hening beberapa saat. Andi hanyut dalam renungan. Terbetik di dasar hatinya untuk segera bertaubat dengan memperbaiki kelakuannya selama ini. Ya! Aku harus bertaubat. Aku harus berubah, mumpung Dia masih memberikanku kesempatan. Tekadnya dalam hati.
“Tok... tok... tok...”
“Ya, silakan masuk.” dia masih menekukkan wajah. Suasana masih kaku. Hening... hampa.
“Dbrakkkk!”
Andi mendongak, terperanjat. Suasana berubah tegang. Ia segera bangkit menuju asal suara itu datang dan kaget bukan main mendapati pintu rumahnya sudah bercerai dari engselnya. Sesosok hitam berdiri kokoh di balik pintu yang hancur karena tendangannya.
“Siapa kamu? Berani-beraninya merusak rumah orang.” Suara Andi terdengar penuh emosi. Pintu itu merupakan kenang-kenangan yang sangat berarti baginya. Benda itu ia beli dari hasil honor tulisannya yang pertama kali dimuat di media massa beberapa tahun silam.
“Hei, Andi! Masa kamu lupa? Aku si Silat, hasil tulisan tanganmu sendiri.”
“Nama panjangmu?” tanya Andi penuh selidik.
“Sudah kuduga, pasti kamu sudah lupa denganku,” lalu ia memandang tuan rumah dengan mata menyipit, “Panjangnya si Silaturahmi Membawa Berkah.”
“Apa maksudmu melakukan semua ini?” tanya Andi sambil menunjuk pintu yang sudah rebah di ujung jari kakinya.
“Ha... ha... ha...” sosok itu tertawa lepas.
Geraham Andi menggeretakkan giginya. Emosi pun tak tertahankan, dan akhirnya...
“Chiattttt!” refleks Andi mundur beberapa langkah.
Andi memasang kuda-kuda, mencoba menyerang kembali. Tetapi, sosok itu terlalu tangguh bagi pria itu yang sama sekali tidak punya latar belakang sebagai seorang pesilat. Berkali-kali bogem mentah mendarat di tubuhnya. Pria itu pun lemas menahan sakit. Kini tubuhnya bersender pasrah di dinding. Tamu terakhir itu pun mendekatinya. Lalu, diambilnya pot bunga yang terbuat dari kaca, dan....
“Ctarrrrr!”
Pot itu hancur-lebur setelah beradu kuat dengan kepala Andi. Serpihan kaca berhamburan di mana-mana. Andi merasakan sakit yang tiada tara. Ia meraung-raung sambil memegang kepalanya. Darah segar yang mengalir di wajahnya dibiarkannya begitu saja. Dia benar-benar kehabisan tenaga. Ia pasrah, hanya erangan kesakitan yang terucap dari lisannya.
“Andi! Aku sudah muak denganmu. Tulisanmu banyak yang tidak sesuai dengan perilakumu sehari-hari. Kau menulis hanya karena honor yang kau terima. Dasar mata duitan!”
Tanpa diduga....
Sosok hitam itu mengeluarkan sebilah belati dari balik pakaian. Mata Andi hanya bisa terbelalak mengetahui apa yang ia lihat. Tangan kekar itu menjambak rambut lawannya.
“Rasakan akibatnya!” ujarnya sambil menempelkan belati itu di leher Andi.
“Tapi, aku ingin taubat.” suara Andi mengiba.
“Terlambat, Andi!”
Benda itu berjalan perlahan. Lalu....
“Tida....kkk!” teriak Andi sekuat tenaga.
Ia berusaha menghindar. Ditolehkan kepala ke kanan. Ia tergeragap. Tangannya menyentuh sesuatu. Mouse. Sekejap matanya menangkap monitor komputer di hadapannya.
Terburu Andi memperhatikan sekelilingnya. Mencari-cari sosok-sosok hitam. Ia berusaha mengingat kembali apa yang baru dialami. Mengusap mata, saat matanya kembali membuka, ia tatap monitor komputer. Masih terpampang sebuah tulisan dengan judul... Ikhlas. ***
Jogjakarta, 21 April ‘06
[Dimuat di Annida nomor 10/XVI/Juni 2006]
Andi Sulaiman Fahmi. Siapa yang tak kenal nama itu? Salah satu penulis yang sangat produktif saat ini. Tulisannya tersebar di berbagai media massa. Entah sudah berapa banyak judul tulisan hasil karangannya. Sulit untuk dihitung saking banyaknya.
Ia rentangkan kedua tangannya ke samping, sekadar menghilangkan pegal yang hinggap di badan. Sudah dua jam penuh ia duduk di depan komputer.
“Hoaaaeemm... akhirnya selesai juga,” ujarnya lirih menahan kantuk. Ia pandangi monitor komputer yang memampang tulisan terbarunya. Saat tiba-tiba...
“Tok... tok... tok...”
“Tok... tok... tok...”
Terdengar ketukan beberapa kali pada pintu rumah. Andi memasang pendengaran kedua telinganya. Tak ada suara memanggil, betul-betul hanya ketukan.
“Siapa sih, malam-malam begini bertamu ke rumah orang?” komentar Andi dalam hati.
Ia melirik jam di tangan kirinya. Ha! Pukul 00.15. Siapa ya, pikirnya. Dengan langkah agak gontai karena rasa kantuk yang belum sepenuhnya pudar, dia berjalan menuju pintu rumahnya.
“Tok... tok... tok... ”
“Iya, ya, sabar dong!”
Sebelum membuka pintu, Andi mengintip dari lubang kunci di pintu agar tahu siapa gerangan tamunya. Dia tidak melihat siapa pun di situ. Rasa penasaran pun segera menggerayangi dirinya.
“Tok... tok... tok...”
Rasa itu semakin membuncah. Pintu pun akhirnya dibuka. Lalu tertangkap oleh kornea matanya sesosok hitam di samping pintu. Tiba-tiba, tanpa sepatah kata pun, sosok itu langsung masuk ke rumah. Andi kaget bukan main dibuatnya, hingga ia hanya mematung malihat semua itu terjadi. Mulutnya membentuk bulatan kecil, melongo.
“He! Apa-apaan ini?” serunya kemudian dari belakang sambil mengekori tamu tadi. Melalui lorong-lorong rumahnya, sosok tersebut langsung menuju ruang tamu. Tahu dari mana ia letak ruang tamu, pikir Andi.
Orang misterius itu kemudian duduk di atas sofa.
“Siapa Anda?” kejar Andi sembari mendaratkan berat badannya di sofa satu lagi, di depan ‘sang tamu’.
“Masa tidak kenal aku, Pak? Aku sudah akrab sekali dengan rumah ini.” Dia malah balik bertanya.
Jawaban itu membuat alis mata ‘tuan rumah’ terangkat, heran. Segera dibuka kembali halaman-halaman memori dalam otaknya. Dia periksa satu per satu, tapi ia tak kunjung menemukan sosok tersebut di dalamnya.
“Bahkan....” dia berhenti beberapa detik, sengaja membiarkan kalimatnya menggantung. “Aku lahir di sini!”
Rasa heran dalam diri Andi memuncak.
“Namamu siapa? Perasaan aku tidak punya keluarga sepertimu.”
“Panggilanku Shofa, panjangnya Shof pun Makin merenggang. Kenal kan dengan nama itu?”
Andi segera ingat nama itu, salah satu judul dari sekian tulisannya. Pernah dimuat di salah satu majalah bulanan beberapa waktu yang lalu.
“Anda tulis dalam diriku bahwa shof-shof itu harus rapat, rapi dan tertib. Anda juga katakan bahwa shof-shof yang renggang akan diisi oleh setan., yang akan membuat salat kita tidak khusyuk. Lalu anda kutip ayat Al Qur’an juga hadist Nabi untuk menguatkan pendapat. Hasilnya... perfect!” dia mengacungkan kedua ibu jarinya, “Hingga salah satu media mau menerbitkan diriku.”
“Lalu apa maksudmu datang ke sini?”
Pelan tapi pasti, sorot matanya berubah tambah seram. Dari auranya sekarang, bisa dipastikan ia datang ke tempat ini dengan membawa sekelumit marah. Beberapa waktu suasana hening, tak ada suara yang keluar dari mulut keduanya. Hingga....
“Aku ke sini hendak menuntutmu!”
“Menuntutku, apa maksudmu?”
Senyum sinis mengembang di bibir Andi. Paling-paling hanya gertakan. Bukankah sebagai penulis, sudah sering ia menerima gertakan-gertakan seperti ini? Apalagi kalau sudah menulis masalah politik. Lha, ini kan cuma....
Mata sosok itu menerawang jauh ke depan.
“Sekarang semua orang telah melihat dan membaca pada diriku. Ada sebagaian dari mereka yang sadar dan segolongan yang lain tetap acuh tak acuh.”
Pak Andi mulai menyimak dengan serius. Sinisnya hilang seketika, entah kenapa. Serasa ada sebuah kekuatan yang telah membuat hatinya ciut. Sosok itu kemudian melanjutkan penjelasannya.
“Anda tahu, golongan pertama tadi dulunya sering menyanjungku bahkan memuji-muji diriku karena telah membuat mereka sadar. Tapi sekarang, mereka berubah. Mereka mennolok-olok diriku. Katanya aku tak tahu diri! Aku bingung apa maksudnya. Setelah kuselidiki sebab-musababnya, akhirnya aku tahu. Pantesan mereka berkata begitu, wong penulisku saja masih enggan mengisi shof kosong di depannya.”
Sejenak sosok itu menatap Andi.
“Karena itu, aku datang kemari untuk meminta pertanggungjawaban anda. Aku tak tahan mendengar olok-olok mereka.”
Andi tertunduk malu. Ingat akan perbuatannya beberapa hari lalu di Masjid Nurul Iman.
“Tok... tok... tok...”
Ketukan pintu terdengar kembali. Kali ini diiringi tangis yang memilukan.
“Masuk,” sambut Andi.
Andi sedikit kaget, tapi ia segera bisa mengatasinya. Bukan apa-apa, karena yang datang kali ini sosok hitam lagi.
“Aku malu, hik... hik...” suara tangisnya semakin terdengar jelas.
“Siapa kamu dan apa yang membuat kamu malu?” tanya Andi lembut.
Terbersit rasa kasihan melihatnya begitu. ‘Sang tamu’ belum bisa juga mengatasi diri, air matanya terus saja mengalir.
“Jangan menangis. Kalau begini terus, gimana saya bisa tahu masalah adik,” Andi memakai istilah adik untuk mencairkan suasana.
“Hiks... aku si Sedek. Nama asliku Sedekah Membawa Berkah.”
Andi mengernyitkan dahi.
“Masa Kakak lupa?” tangisnya terdengar pelan, “Aku adalah tulisan yang Kakak kirim ke majalah Bintang tiga bulan yang lalu, dan baru dimuat sebulan kemudian.”
Yang mendengarkan penjelasannya mengangguk-anggukkan kepala tanda ingat kembali, “Ya, ya. Aku ingat.”
“Kak, semua pembeli majalah Bintang telah membacaku. Kata mereka isiku bagus. Mereka bilang aku berbobot. Asal Kakak tahu, tidak sedikit dari mereka yang bersegera mengeluarkan zakat untuk mendapatkan keberkahan dalam harta mereka, sebagaimana yang Kakak maksud. Melihat itu, aku bangga sekali karena ternyata diriku bisa memberikan pencerahan bagi orang lain. Ta.. tapi, Kak, siang tadi mereka malah mengejekku, mencerca diriku. Hik... hik...” tangis itu pecah kembali.
Sekarang Andi tak bisa menyuruhnya berhenti menangis seperti tadi. Ia yakin ini berkaitan dengannya. Bahkan, semua ini gara-gara dirinya sendiri.
“Aku tanya mengapa mereka melakukan itu? Mereka menjawab ‘Hei, Sedek, penulismu itu agak kikir tahu!’ Malu sekali aku mendengar jawaban itu. Tak bisa kubayangkan merahnya wajahku waktu itu. Malu, Kak! Makanya, sekarang aku datang ke sini untuk mengadu.” Buliran air itu terus merayap di pipi, membuatnya semakin sesenggukan.
Sementara itu, ndi semakin menekuk dalam wajahnya. Mukanya merah padam, malu pada mereka berdua. Dia sekarang sadar bahwa tulisan yang ia karang selama ini masih banyak yang tidak sesuai dengan kelakuan dan sifatnya. Bayangan anak kecil yang diabaikannya di lampu merah beberapa hari lalu, berkelebat kembali dalam memorinya.
Keadaan hening beberapa saat. Andi hanyut dalam renungan. Terbetik di dasar hatinya untuk segera bertaubat dengan memperbaiki kelakuannya selama ini. Ya! Aku harus bertaubat. Aku harus berubah, mumpung Dia masih memberikanku kesempatan. Tekadnya dalam hati.
“Tok... tok... tok...”
“Ya, silakan masuk.” dia masih menekukkan wajah. Suasana masih kaku. Hening... hampa.
“Dbrakkkk!”
Andi mendongak, terperanjat. Suasana berubah tegang. Ia segera bangkit menuju asal suara itu datang dan kaget bukan main mendapati pintu rumahnya sudah bercerai dari engselnya. Sesosok hitam berdiri kokoh di balik pintu yang hancur karena tendangannya.
“Siapa kamu? Berani-beraninya merusak rumah orang.” Suara Andi terdengar penuh emosi. Pintu itu merupakan kenang-kenangan yang sangat berarti baginya. Benda itu ia beli dari hasil honor tulisannya yang pertama kali dimuat di media massa beberapa tahun silam.
“Hei, Andi! Masa kamu lupa? Aku si Silat, hasil tulisan tanganmu sendiri.”
“Nama panjangmu?” tanya Andi penuh selidik.
“Sudah kuduga, pasti kamu sudah lupa denganku,” lalu ia memandang tuan rumah dengan mata menyipit, “Panjangnya si Silaturahmi Membawa Berkah.”
“Apa maksudmu melakukan semua ini?” tanya Andi sambil menunjuk pintu yang sudah rebah di ujung jari kakinya.
“Ha... ha... ha...” sosok itu tertawa lepas.
Geraham Andi menggeretakkan giginya. Emosi pun tak tertahankan, dan akhirnya...
“Chiattttt!” refleks Andi mundur beberapa langkah.
Andi memasang kuda-kuda, mencoba menyerang kembali. Tetapi, sosok itu terlalu tangguh bagi pria itu yang sama sekali tidak punya latar belakang sebagai seorang pesilat. Berkali-kali bogem mentah mendarat di tubuhnya. Pria itu pun lemas menahan sakit. Kini tubuhnya bersender pasrah di dinding. Tamu terakhir itu pun mendekatinya. Lalu, diambilnya pot bunga yang terbuat dari kaca, dan....
“Ctarrrrr!”
Pot itu hancur-lebur setelah beradu kuat dengan kepala Andi. Serpihan kaca berhamburan di mana-mana. Andi merasakan sakit yang tiada tara. Ia meraung-raung sambil memegang kepalanya. Darah segar yang mengalir di wajahnya dibiarkannya begitu saja. Dia benar-benar kehabisan tenaga. Ia pasrah, hanya erangan kesakitan yang terucap dari lisannya.
“Andi! Aku sudah muak denganmu. Tulisanmu banyak yang tidak sesuai dengan perilakumu sehari-hari. Kau menulis hanya karena honor yang kau terima. Dasar mata duitan!”
Tanpa diduga....
Sosok hitam itu mengeluarkan sebilah belati dari balik pakaian. Mata Andi hanya bisa terbelalak mengetahui apa yang ia lihat. Tangan kekar itu menjambak rambut lawannya.
“Rasakan akibatnya!” ujarnya sambil menempelkan belati itu di leher Andi.
“Tapi, aku ingin taubat.” suara Andi mengiba.
“Terlambat, Andi!”
Benda itu berjalan perlahan. Lalu....
“Tida....kkk!” teriak Andi sekuat tenaga.
Ia berusaha menghindar. Ditolehkan kepala ke kanan. Ia tergeragap. Tangannya menyentuh sesuatu. Mouse. Sekejap matanya menangkap monitor komputer di hadapannya.
Terburu Andi memperhatikan sekelilingnya. Mencari-cari sosok-sosok hitam. Ia berusaha mengingat kembali apa yang baru dialami. Mengusap mata, saat matanya kembali membuka, ia tatap monitor komputer. Masih terpampang sebuah tulisan dengan judul... Ikhlas. ***
Jogjakarta, 21 April ‘06
[Dimuat di Annida nomor 10/XVI/Juni 2006]
Karya : Nadi Asfari