Oleh : Rahmatri Mardiko*
Melihat pengembangan IT di Indoneisa, ada hal penting yang agaknya luput dari perhatian kita. Mencontoh dari India dan China, bagaiamana kedua negara ini mampu menjadi pemain utama sebagai negara produsen IT, seharusnya kita melihatnya berpuluh tahun yang lalu. Di saat mereka memulai langkah membangun teknologi informasi. Bukan dengan kemajuan yang kita lihat saat ini, karena apa yang kita lihat saat ini adalah hasil akumulasi dari usaha-usaha mereka di tahun-tahun sebelumnya. Ada tahapan-tahapan yang dilalui hingga kemajuan saat ini mereka raih.
Unsur yang paling utama harus dibangun adalah basis pengetahuan yang kuat dan kultur baca tulis. Kita bisa mencontohnya dari Korea. Basis pengetahuan yang kuat memungkinkan Korea untuk melakukan loncatan besar dalam sebuah creative innovation, hingga akhirnya mampu melakukan inovasi sendiri dan menjadi negara maju saat ini. Ketika perang Vietnam usai dan Presiden Amerika menawarkan bantuan untuk Korea atas jasanya selama perang tersebut, tak banyak yang diminta Presiden Park saat itu. Amerika akhirnya membangunkan untuk Korea laboratorium Iptek besar yang kemudian bernama KIST (Korean Institute of Science and Technology). KIST inilah yang memiliki peran besar dalam membangun basis pengetahuan yang kuat di Korea. Begitu pula yang dialkukan India dan China, khususnya dalam pengembangan IT.
Dalam teknologi informasi, basis pengetahuan yang utama adalah penguasaan ilmu-ilmu murni seperti matematika dan ilmu alam. Tentunya hal ini harus ditunjang dengan kebijakan pendidikan dan akses untuk mendapatkan buku secara murah. Cara inilah yang ditempuh India di tahun 1960-an, lebih dari 40 tahun yang lalu. Begitu pula China. Since mathematics is the foundation of all digital advances, nation well versed in that discipline -including China, India and the nations of Southeast Asia- could turn their homeands into formirdable technology power. (Businessweek)
Basis pengetahuan yang kuat akan sulit diwujudkan tanpa adanya kultur baca tulis yang kuat pula. Hampir semua informasi dan ilmu pengetahuan tersedia dalam bentuk tulisan (buku, majalah, jurnal, koran, brosur, pamflet, dsb). Informasi dalam bentuk tulisan memiliki banyak keunggulan dibanding media-media dalam bentuk lain. Tapi jika kita bicara mengenai budaya baca tulis, maka instrumen utama kita adalah buku. Walaupun kini telah tersedia internet yang membantu kita menyediakan berbagai informasi, tapi buku tetap menjadi instumen utama. Internet memiliki beberapa kelemahan dan efek negatif yang justru menisbikan usaha ini. Even if computer/internet liuteracy was a mandate, the corect curriculum path would not be internet first. It might be something like: reading/writing literacy, typing/keyboarding/general computer mechanics and ETHICS, then the Internet – Tom Harrison in Computer and Society, June 1997.
Betapa sedihnya, di saat negara-negara lain sedang berpikir bagaimana mengembangkan teknik membaca cepat dan efektif, saat ini kita masih disibukkan dengan agenda-agenda memberantas buta huruf. Tapi ini tidak menjadi masalah jika memang hal ini didasari keinginan yang kuat untuk memajukan pendidikan.
Maka dari itu, jika kita berbicara pengembangan IT secara jangka panjang agar mampu memberikan manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat, upaya membangun budaya baca tulis ini harus jadi perhatian kita yang utama. Realisasinya akan sangat bergantung pada political will pemerintah untuk memajukan pendidikan. Kebijakan yang paling penting dalam mendorong budaya baca tulis ini adalah ketersediaan pusat-pusat informasi seperti perpustakaan-perpustakaan dan buku yang harganya terjangkau. Perpustakaan sebagai salah satu faktor penting di dalam pengembangan TI seringkali diabaikan dan tidak dianggap sebagai unsur yang penting. Padahal perpustakaan lah, yang dari awal telah mengelola informasi. Apalagi dengan kenyataan mayoritas warga kita yang mayoritas Islam, kita memiliki warisan sejarah bagaimana di masa keemasan Islam, perpustakaan dan buku menjadi alat utama dalam saluran distribusi informasi hingga mampu mewujudkan masyarakat madani.
Hal lain yang bisa dilakukan untuk membangun kultur baca tulis misalnya menggiatkan upaya-upaya penerjemahan buku-buku dari luar negeri atau memberikan insentif untuk para penulis buku dalam negeri, khususnya di kalangan akademisi. Dalam hal ini, kita juga bisa memanfaatkan internet sebagai saluran distribusi informasi dan sumber-sumber bacaan, bahkan bisa jadi sangat efektif. Dan kuncinya sebenarnya ada pada anggaran pemerintah untuk pendidikan yang mencukupi. Kenapa tidak, anggaran IT digunakan untuk investasi jangka panjang di bidang pendidikan?
Dengan terbangunnya kultur baca tulis di masyarakat umum, barulah implementasi teknologi informasi akan berperan lebih optimal dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pada fase ini, barulah tercipta Komunikasi-Komunitas-Knowledge dan Kolaborasi. Kolaborasi adalah manfaat utama dari IT khususnya internet. Internet memungkinkan orang berkolaborasi secara murah tanpa dibatasi geografi dan waktu. Untuk memulai kolaborasi ini, biasanya dilakukan pertama kali dengan membangun komunitas online. Melalui komunitas ini, para anggota komunitas dapat saling berkomunikasi dan berbagi ilmu pengetahuan (knowledge).
Awal mulanya internet dikembangkan dengan semangat berbagi ilmu dan informasi. Walau merupakan proyek Departemen Pertahanan Amerika, internet digunakan dan dikembangkan untuk tujuan kolaborasi dunia akademi yang serba terbuka. Maka untuk itu, ketersediaan akses ke internet bukanlah segala-galanya, tapi yang lebih penting adalah kontennya. Pengembangan internet tanpa memperhatikan content hanya akan membuat kita pengonsumsi informasi dari luar negeri saja. Apakah internet menyediakan informasi yang memadai dan sesuai untuk kebutuhan-kebutuhan kita, khususnya dalam pendidikan? Apakah internet bisa diefektifkan agar kita mampu berkolaborasi satu sama lain? Saat ini apakah internet mampu membantu kita mewujudkan kesejahteraan masyarakat? Pertanyaan inilah yang harus dijawab, Jangan berpikir dulu akses internet yang terbuka secara luas. Alih-alih, pembukaan akses internet secara luas malah membawa efek buruk seperti digital warfare, pornografi, buang-buang waktu, uang dan menyia-nyiakan potensi.
Referensi:
Mulyanto, Dr. M.Eng, Urgensi Jihad Teknologi. Tarbiyatuna. Jakarta: 2003
Rahardjo, I. Budi, M.Sc, Ph.D, Memahami Teknologi Informasi. Elex Media Komputindo. Jakarta: 2002.
Sardar, Ziauddin, Tantangan Dunia Islam Abad 21 Menjangkau Informasi. Mizan. Bandung:1996
Wiryana, I Made, From Germany with IT. Ardi Publishing. Yogyakarta: 2004
Melihat pengembangan IT di Indoneisa, ada hal penting yang agaknya luput dari perhatian kita. Mencontoh dari India dan China, bagaiamana kedua negara ini mampu menjadi pemain utama sebagai negara produsen IT, seharusnya kita melihatnya berpuluh tahun yang lalu. Di saat mereka memulai langkah membangun teknologi informasi. Bukan dengan kemajuan yang kita lihat saat ini, karena apa yang kita lihat saat ini adalah hasil akumulasi dari usaha-usaha mereka di tahun-tahun sebelumnya. Ada tahapan-tahapan yang dilalui hingga kemajuan saat ini mereka raih.
Unsur yang paling utama harus dibangun adalah basis pengetahuan yang kuat dan kultur baca tulis. Kita bisa mencontohnya dari Korea. Basis pengetahuan yang kuat memungkinkan Korea untuk melakukan loncatan besar dalam sebuah creative innovation, hingga akhirnya mampu melakukan inovasi sendiri dan menjadi negara maju saat ini. Ketika perang Vietnam usai dan Presiden Amerika menawarkan bantuan untuk Korea atas jasanya selama perang tersebut, tak banyak yang diminta Presiden Park saat itu. Amerika akhirnya membangunkan untuk Korea laboratorium Iptek besar yang kemudian bernama KIST (Korean Institute of Science and Technology). KIST inilah yang memiliki peran besar dalam membangun basis pengetahuan yang kuat di Korea. Begitu pula yang dialkukan India dan China, khususnya dalam pengembangan IT.
Dalam teknologi informasi, basis pengetahuan yang utama adalah penguasaan ilmu-ilmu murni seperti matematika dan ilmu alam. Tentunya hal ini harus ditunjang dengan kebijakan pendidikan dan akses untuk mendapatkan buku secara murah. Cara inilah yang ditempuh India di tahun 1960-an, lebih dari 40 tahun yang lalu. Begitu pula China. Since mathematics is the foundation of all digital advances, nation well versed in that discipline -including China, India and the nations of Southeast Asia- could turn their homeands into formirdable technology power. (Businessweek)
Basis pengetahuan yang kuat akan sulit diwujudkan tanpa adanya kultur baca tulis yang kuat pula. Hampir semua informasi dan ilmu pengetahuan tersedia dalam bentuk tulisan (buku, majalah, jurnal, koran, brosur, pamflet, dsb). Informasi dalam bentuk tulisan memiliki banyak keunggulan dibanding media-media dalam bentuk lain. Tapi jika kita bicara mengenai budaya baca tulis, maka instrumen utama kita adalah buku. Walaupun kini telah tersedia internet yang membantu kita menyediakan berbagai informasi, tapi buku tetap menjadi instumen utama. Internet memiliki beberapa kelemahan dan efek negatif yang justru menisbikan usaha ini. Even if computer/internet liuteracy was a mandate, the corect curriculum path would not be internet first. It might be something like: reading/writing literacy, typing/keyboarding/general computer mechanics and ETHICS, then the Internet – Tom Harrison in Computer and Society, June 1997.
Betapa sedihnya, di saat negara-negara lain sedang berpikir bagaimana mengembangkan teknik membaca cepat dan efektif, saat ini kita masih disibukkan dengan agenda-agenda memberantas buta huruf. Tapi ini tidak menjadi masalah jika memang hal ini didasari keinginan yang kuat untuk memajukan pendidikan.
Maka dari itu, jika kita berbicara pengembangan IT secara jangka panjang agar mampu memberikan manfaat seluas-luasnya bagi masyarakat, upaya membangun budaya baca tulis ini harus jadi perhatian kita yang utama. Realisasinya akan sangat bergantung pada political will pemerintah untuk memajukan pendidikan. Kebijakan yang paling penting dalam mendorong budaya baca tulis ini adalah ketersediaan pusat-pusat informasi seperti perpustakaan-perpustakaan dan buku yang harganya terjangkau. Perpustakaan sebagai salah satu faktor penting di dalam pengembangan TI seringkali diabaikan dan tidak dianggap sebagai unsur yang penting. Padahal perpustakaan lah, yang dari awal telah mengelola informasi. Apalagi dengan kenyataan mayoritas warga kita yang mayoritas Islam, kita memiliki warisan sejarah bagaimana di masa keemasan Islam, perpustakaan dan buku menjadi alat utama dalam saluran distribusi informasi hingga mampu mewujudkan masyarakat madani.
Hal lain yang bisa dilakukan untuk membangun kultur baca tulis misalnya menggiatkan upaya-upaya penerjemahan buku-buku dari luar negeri atau memberikan insentif untuk para penulis buku dalam negeri, khususnya di kalangan akademisi. Dalam hal ini, kita juga bisa memanfaatkan internet sebagai saluran distribusi informasi dan sumber-sumber bacaan, bahkan bisa jadi sangat efektif. Dan kuncinya sebenarnya ada pada anggaran pemerintah untuk pendidikan yang mencukupi. Kenapa tidak, anggaran IT digunakan untuk investasi jangka panjang di bidang pendidikan?
Dengan terbangunnya kultur baca tulis di masyarakat umum, barulah implementasi teknologi informasi akan berperan lebih optimal dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pada fase ini, barulah tercipta Komunikasi-Komunitas-Knowledge dan Kolaborasi. Kolaborasi adalah manfaat utama dari IT khususnya internet. Internet memungkinkan orang berkolaborasi secara murah tanpa dibatasi geografi dan waktu. Untuk memulai kolaborasi ini, biasanya dilakukan pertama kali dengan membangun komunitas online. Melalui komunitas ini, para anggota komunitas dapat saling berkomunikasi dan berbagi ilmu pengetahuan (knowledge).
Awal mulanya internet dikembangkan dengan semangat berbagi ilmu dan informasi. Walau merupakan proyek Departemen Pertahanan Amerika, internet digunakan dan dikembangkan untuk tujuan kolaborasi dunia akademi yang serba terbuka. Maka untuk itu, ketersediaan akses ke internet bukanlah segala-galanya, tapi yang lebih penting adalah kontennya. Pengembangan internet tanpa memperhatikan content hanya akan membuat kita pengonsumsi informasi dari luar negeri saja. Apakah internet menyediakan informasi yang memadai dan sesuai untuk kebutuhan-kebutuhan kita, khususnya dalam pendidikan? Apakah internet bisa diefektifkan agar kita mampu berkolaborasi satu sama lain? Saat ini apakah internet mampu membantu kita mewujudkan kesejahteraan masyarakat? Pertanyaan inilah yang harus dijawab, Jangan berpikir dulu akses internet yang terbuka secara luas. Alih-alih, pembukaan akses internet secara luas malah membawa efek buruk seperti digital warfare, pornografi, buang-buang waktu, uang dan menyia-nyiakan potensi.
Referensi:
Mulyanto, Dr. M.Eng, Urgensi Jihad Teknologi. Tarbiyatuna. Jakarta: 2003
Rahardjo, I. Budi, M.Sc, Ph.D, Memahami Teknologi Informasi. Elex Media Komputindo. Jakarta: 2002.
Sardar, Ziauddin, Tantangan Dunia Islam Abad 21 Menjangkau Informasi. Mizan. Bandung:1996
Wiryana, I Made, From Germany with IT. Ardi Publishing. Yogyakarta: 2004
-------------------
*Penulis saat ini mendapat amanah sebagai Ketua RISMA Jatibening Satu